Kediktatoran Korea Utara
Seperti
yang telah diketahui bahwa Korea Utara dan Korea Selatan sebelumnya
merupakan suatu kesatuan. Keadaanpun mengalami perubahan ketika Korea
terbagi menjadi dua ketika terjadinya proxy war pada masa Perang Dingin. Proxy war
merupakan konfrontasi antara dua kekuatan besar dengan menggunakan
aktor pengganti untuk menghindari konfrontasi secara langsung (Bar-Siman-Tov, 1984 dalam Dandan, t.t). Efek dari terjadinya proxy war yang masih dapat disaksikan hingga saat ini adalah terbaginya wilayah Korea menjadi dua, yakni Korea Utara yang diduduki pihak Uni Soviet serta Korea Selatan yang diduduki Amerika
Serikat. Namun, ketika berakhirnya Perang Dingin yang ditandai dengan
runtuhnya Uni Soviet terjadilah gencatan senjata antara Korea Utara dan
Korea Selatan hingga saat ini. Selain itu, saat ini Korea Utara dikenal
sebagai negara yang isolasionis dari dunia internasional serta memiliki
senjata nuklir yang sangat membahayakan makhluk di bumi.
Seperti yang telah diketahui, Korea Utara merupakan negara
yang memiliki reaktor nuklir. Negara ini merupakan salah satu negara
yang berada dalam kekuasaan komunis. Korea Utara yang mengisolasi
dirinya dari dunia internasional masih dipertahankan hingga saat ini.
Berdirinya negara ini dimulai pada tahun 1948 setelah terjadinya Perang
Dunia II yang sangat pelik. Kemudian, negara ini dipimpin oleh Kim Il
Sung yang memimpin Korea Utara selama hampir lima puluh tahun. Ketika
memimpin Korea Utara, Kim Il Sung memproklamirkan filosofi Juche pribadi
yang menjadi cahaya penuntun pembangunan Korea Utara. Setelah memimpin
Korea Utara selama hampir lima puluh tahun, Kim Il Sung wafat pada tahun
1994, namun jabatan yang diembannya sebagai Presiden Korea Utara
melekat abadi padanya (bbc.com, 2014).
Apa
yang terjadi di Korea Utara sangat berbeda dengan yang terjadi di Korea
Selatan. Jika saat ini Korea Selatan sedang gencar-gencarnya menyebar
luaskan Korean Wavenya untuk mendapatkan pemasukan negara yang lebih besar dalam bidang entertainment,
maka Korea Utara sedang mengalami masa keterpurukan dimana kondisi
domestik Korea Utara yang tidak stabil sehingga masyarakat Korea Utara
banyak yang mengalami kelaparan dan secara signifikan telah mengurangi
jumlah populasi masyarakat Korea Utara itu sendiri. Sejarah kediktatoran
yang terjadi di Korea Utara bermula ketika pada tahun 1953, basic institutions
di Korea Utara berubah menjadi keras. Selain itu, tidak hanya basic
institutions saja yang semakin kaku, kepemimpinan di Korea Utara juga
semakin berkubu-kubu. Kemudian, ketika Kim Il Sung menjabat sebagai
pemimpin Korea Utara, ia menjadi satu-satunya pemimpin absolut dimana
rakyat Korea Utara harus memujanya melebihi Stalin maupun Mao Zedong
(Seth, 2011:340). Kediktatoran Kim Il Sung semakin menjadi-jadi ketika
Korea Utara memprioritaskan penggunaan sumebr daya alam maupun energinya
guna memperkuat kekuatan militer Korea Utara. Selain itu, Korea Utara
sedang sibuk untuk pencukupan diri atau self-sufficiency yang
berujung pada semakin kakunya atau diktatornya pemerintah Korea Utara,
negara paling isolasionis di dunia, serta meningkatnya anakronism.
Bentuk pemerintahan Korea Utara yang kaku ini, disebutkan Seth
(2011:340) bahwa sebagian dipengaruhi oleh apa yang diterapkan Stalin
dalam masa kepemimpinannya, dimana konsep tersebut menyebabkan hilangnya
rasa kepercayaan masyarakat Uni Soviet dan Cina. Hal ini sangat kontras
dengan apa yang terjadi di Korea Selatan yang pada saat itu, Korea
Selatan sedang gencar-gencarnya memperluas pasarnya dengan meningkatkan
impornya.
Pemerintahan
Korea Utara mulai berdiri secara independen ketika berakhirnya Perang
Dingin pada tahun 1990an. Setelah itu, Pemerintah Korea Utara Pemeintah
Korea Utara menyerukan pada rakyat Korea Utara untuk menerima hardship march atau lebih tepatnya socialist hardship march yang berada dibawah naungan red flag thought (Chung, 2004: 287-288). Namun sayangnya sistem
perekonomian Korea Utara yang sosialis, nampaknya belum diaplikasikan
secara penuh di Korea Utara. Hal inilah yang dialami Korea Utara pada
masa awal berdirinya negara tersebut. berbagai kelangkaan seperti
makanan, obat, energi,
bahkan kebutuhan dasar manusia. Sedangkan secara teoritis realita
tersebut tidak seharusnya terjadi pada negara sosialis seperti Korea
Utara. Menghadapi kenyataan tersebut banyak masayarakat Korea Utara yang
meninggalkan partainya karena tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar
masyarakat Korea Utara. Selain itu, guna mengakhiri penderitaan tersebut
masyarakat Korea Utara meminta Pemerintah untuk meminjam dana dari
Komunitas Aid Internasional.
Ditengah kondisi yang sangat memprihatinkan di Korea Utara tersebut, terjadilah reorganisir struktur politik.
Selain itu, Korea Utara juga melakukan pembenahan perekonomian dari
goncangan krisis dengan menerapkan rencana perekonomian domestik pada
tahun 1998 (Chung, 2004: 288). Hal tersebut ditandai dengan perubahan
Konstitusi Korea Selatan yang dimulai dengan pembentukan sistem negara
yang baru. Dalam Konstitusi baru yang dikenal dengan Kim Il Sung
Konstitusi tersebut, menandai berakhirnya State Presidency atau yang dikenal dengan Chusok dan Central People Committee (CPC). Sementara itu, ketika peran Chusok dan CPC ini dihapuskan diperkuatlah peran National Defense Committee (NDC)
serta dibentuknya kembali Kabinet dalam Struktur Kekuasaan dalam aspek
tertentu. Selain itu, Konstitusi Kim Il Sung ini juga mengatur menegnai
aspek ekonomi seperti harga dasar, laba, serta memperoleh asosiasi dengan law of value (Chung 2004:288). Lalu, Korea Utarapun merombak kebijakan-kebijakan pemerintahannya menjadi Economic Management Improvement
pada bulan 1 Juli tahun 2002 (Chung, 2004:283). Hal ini disebabkan oleh
kebijakan yang diterapkan selama ini belum berhasil mewujudkan
restruktrisasi perekonomian Korea Utara yang tengah terpuruk karena
terlalu berfokus pada politik.
Di
tengah tidak stabilnya Pemerintahan Korea Utara, masyarakat Korea
Utaralah yang merasakan dampak paling vital dari permasalahan tersebut.
Hal tersebut diperjelas dengan penelitian yang dilakukan National
Intelligence Council (Bennet
dan Lind, 2011:91) yang menyatakan bahwa setengah dari anak – anak
Korea Utara mengalami kekerdilan dan kurangnya berat badan, sementara
itu dua pertiga remaja Korea Utara mengalami malnutrisi atau kekurangan
darah. Kondisi yang sangat memprihatinkan di Korea Utara tersebut telah
membunuh ratusan masyarakat Korea Utara. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya perhatian pemerintah yang terlalu fokus pada militer sehingga
supplai makanan serta minimnya fasilitas kesehatan telah mengakibatkan
turunnya populasi penduduk Korea Utara dengan jumlah yang cukup
signifikan. Selain itu, guna menjaga stabilitas dalam negeri Korea Utara
seharusnya pemerintah menyediakan infrastruktur yang memadai. Oleh
sebab itu, faktor pendukung pencapaian stabilitas Korea Utara seperti
jalan raya, pelabuhan, rel kereta api, serta bandara ini merupakan jalur
komunikasi yang menghubungkan wilayah-wilayah di Korea Utara.
Jadi,
penulis menyimpulkan bahwa krisis yang saat ini terjadi di Korea Utara
tidak dapat dilepaskan dari kediktatoran pemimpin negara tersebut.
Pemerintah Korea Utara terlalu fokus pada militer dengan mengedepankan
pengolahan sumber daya alam untuk kepentingan militer. Sementara itu,
rakyat Korea Utara belum mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah.
Hal tersebut didasarkan pada keadaan rakyat Korea Utara yang banyak
mengalami kelaparan hingga kekurangan gizi karena kurangnya suplai
makanan. Selain pada aspek sosial, kediktatoran pemerintahan Korea Utara
yang saat ini dipimpin oleh Kim Jong Un. Dalam kepemimpinannya, Kim
Jong Un menghukum mati pamannya yang bernama Jang Song Thaek yang
dianggap pemberontak rezim yang dipimpinnya. Walaupun berstatus sebagai
pamannya, Kim Jong Un menyetujui hukuman mati yang dialamatkan pada
pamannya tersebut. Menurut Kim Jong Un (dalam Kawilarang dan Armandhanu,
2013) Jang dengan putus asa mencoba membentuk faksi dalam partai dengan
menciptakan ilusi tentang dirinya dan berhasil mengambil hati para
pendukungnya serta orang-orang yang berkeyakinan lemah. Sehingga,
hukuman mati yang dijatuhkan pada Jang Song Thaek tersebut dilaksanakan
pada bulan Desember tahun 2013 lalu.
Referensi:
Bennet,
Bruce W & Lind, Jennifer. 2011. “The Collapse of North Korea:
Military Missions and Requirements”. International Security. Vol. 36,
no. 2, pp. 84-119.
Chung,
Young Chul. 2004. “North Korean Reform and Opening: Dual Strategy and
‘Silli (Practical) Socialism”. Pacific Affairs, vol. 77, no. 2, pp.
283-304.
Dandan,
Salem B.S. t.t. “On Proxy War”, dalam Danish Political Science Annual
Meeting, 25 – 26 Oktober DPSA. University of Copenhagen : Department of
Political Science dalam http://dpsa.dk/papers/On%20Proxy%20War.pdf (diunduh pada 31 Maret 2014)
Seth,
Michael J. 2011. “A History of Korea: from Antiquity to the Present”.
Plymouth: Rowman & Littlefield Publishers, Inc. Ch. 12 & 15, pp.
339-372; 437-464.